![]() |
KH. Turaikhan Adjhuri es Syarofi |
ULAMA' SEPUH KUDUS YG AHLI FALAK
Diantara ulama besar kota Kudus yang kharismatik dan
terkenal pada akhir abad 20 adalah Al Maghfurlah KH. Turaikhan Adjhuri Es
Syarofi yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Mbah Tur yang masih dianggap
tedak turun Syaikh Ja`far Shadiq atau Sunan Kudus. KH. Turaikhan Adjhuri Es
Syarofi dikenal sebagai pakar ilmu Falak atau Astronomi. Selain itu juga
dikenal sebagai tokoh yang terkenal keteguhannya memegang prinsip dan akidah.
Pendapat-pendapatnya dalam masalah fiqih juga sering mengejutkan kalangan
ulama. Beliau lahir di Kuduspada tanggal 22 Rabiul Akhir 1334 H atau 10 Maret
1915 M. Ayah beliau bernama KH. Adjhuri sedangkan ibu beliau bernama Nyai Dewi
Sukainah.
Masa Pertumbuhan dan Dewasa
KH. Turaikhan Adjhuri pada masa kanak-kanaknya tumbuh dan
berkembang seperti anak-anak pada umumnya. Turaikhan kecil hidup dalam
lingkungan keluarga yang cinta agama dan ilmu pengetahuan. Sejak kecil sudah
tampak kecintaannya pada ilmu agama. Waktunya banyak dihabiskan untuk belajar,
mengaji dan muthalaah kitab. Beliau terkenal dengan anak yang cerdas, tegas dan
teliti. Inilah ciri khas beliau yang dimiliki sejak kecil dan melekat sampai
dewasa.Saat kanak-kanak, Turaikhan kecil tidak begitu suka pada olah raga
fisik. Namun ada satu jenis permainan olah otak dan pikiran yang sangat beliau
gemari yaitu catur. Beliau terkenal sangat pandai dalam bermain catur. Bahkan
di masa kolonial Belanda beliau pernah diberi penghargaan karena kepiawaiannya
dalam bermain catur.Selain gemar bermain catur, sejak kecil beliau sudah
menyukai seni bermain rebana. Kegemarannya bermain rebana ini terus berlanjut
sampai beliau dewasa dan menjadi ulama besar. Maka ketika Madrasah TBS, tempat
beliau mengajar, membuat Group Rebana beliau sangat mendukungnya. Bahkan
akhirnya Group Rabana TBS ini pernah menjuarai lomba rebana IPNU-IPPNU Kota
Kudus.
Dan tidak seperti ulama besar pada umumnya, KH. Turaikhan
tidak pernah secara resmi menjadi santri di pesantren manapun. Hanya saja
beliau memang hidup di kota santri Kudus dan dilingkungan pesantren. Beliau
memanfaatkan pengajian-pengajian yang digelar ulama kota Kudus. Bagi beliau
belajar pada ulama di maa saja itu sama. Yang paling penting adalah keikhlasan
niat dan kesungguhan belajarnya. Dalam lingkup formal, beliau belajar di
Madrasah Tasywiquth Thulab As Salafiyah atau disingkat TBS, di Kudus. Tepatnya
sejak mulai berdirinya Madrasah TBS tahun 1928. Di madrasah TBS ini, beliau
mendapat kesempatan belajar ilmu alat pada KH. Abdullah Aljufri, ilmu fiqih
pada KH Muhit, ilmu falak pada KH. Abdul Jalil Hamid dan ilmu pengetahuan dan
agama yang lainnya dari para kyai yang mengajar di TBS pada waktu itu.
Selain belajar di Madrasah TBS, di luar jam madrasah beliau
juga belajar pada ulama terkemuka Kudus pada zamannya, semisal. KH. R. Asnawi,
K. Maksum bin Ali Kuaron dari Jombang yang merupakan menantu dari KH. Hasyim
Asy`ari, K. Fauzan, K. Ma`sum, ayah Kyai Fauzan, Kyai Muslim yang merupakan
kakak dari Kyai Amin Said dan masih banyak lagi.
Bagitu selesai belajar di TSB beliau langsung mengabdikan
diri secara total dengan ikut serta mengajar di almamaternya. Selain itu juga
membuka pengajian kitab kuning di rumahnya. Pada tahun 1942, ketika KH.
Turaihan tepat berumur 27 tahun ia membangun rumah tangga dan menyunting
seorang gadis shalehah bernama Masni`ah binti Marwan untuk dijadikan pendamping
hidupnya. Dari pernikahannya dengan Nyai Masni`ah beliau dikaruniai 10 orang
putera puteri. Namun kini yang tinggal hanya 4 orang (2 putra dan 2 puteri)
yaitu KH. Choirozad yang sekarang mengajar di Madrasah TBS Kudus. Anak beliau
yang kedua dan ketiga adalah perempuan yang bernama Fihris dan Naila. Putra
beliau yang terakhir bernama Drs. Sirril Wafa, MA yang sekarang menjadi dosen
di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Pada tahun 1969 untuk pertama kalinya beliau berangkat
ibadah haji untuk pertama kalinya. Dan pada tahun 1992 beliau kembali berangkat
haji ke tanah suci bersama puteranya yang bernama KH. Choirozad dan ulama Kudus
lainnya.
Aktifitas Keumatan dan Perjuangan Mbah Tur
Dalam dunia pendidikan dedikasi Mbah Tur yang dipersembahkan
untuk generasi penerus bangsa dan agama sangatlah besar. Kapasitas keilmuannya
juga sulit dicari padanan dan gantinya. Pasalnya ketika beliau berumur 14 tahun
beliau sudah mampu mengajar di Madrasah TBS Kudus. Khususnya dalam bidang ilmu
Falak dan Faraidh, sampai sekarang banyak kalangan ulama di Kudus yang
merasakan belum menemukan pengganti beliau.
Selain mengajar di madrasah TBS, beliau juga membuka
pengajian kitab kuning di rumahnya. Sehari-harinya beliau juga sibuk memberikan
pengajaran dan pengajian di masjid dan majlis-majlis pengajian di kota Kudus
dan sekitarnya. Dalam bulan-bulan tertentu, misalnya Sya`ban dan Ramadan beliau
mengajar kitab-kitab khusus. Misalnya pada bulan Sya`ban, beliau mengajar
kitab-kitab yang beliau ajarkan di Madrasah TBS tapi belum khatam. Biasanya
untuk kesempatan ini banyak santri-santri TBS mempergunakannya dengan
sebaik-baiknya. Mereka datang berduyun-duyun untuk mengaji di kediaman beliau
demi mengkhatamkan sebuah kitab. Bagi santri mengkhatamkan sebuah kitab
langsung dibawah asuhan seorang ulama besar adalah suatu kebahagiaan dan
keberuntungan yang tiada taranya. Lain halnya di bulan Ramadhan, beliau
mengajarkan kitab-kitab tertentu seperti kitab Adzkiya, Isyadul Ibad, dan Hikam
yang digunakan sebagai aurod atau wirid tetap pada bulan Ramadhan. Namun pada
tahun-tahun beliau menginjak usia senja dan menjelang wafat, beliau selalu
mengajarkan kitab-kitab tentang akidah atau teologi mulai dari yang kecil
seperti Tuhfah al Murid sampai yang besar seperti Dasuqi.
Tak hanya dalam dunia pendidikan, KH. Turaihan atau Mbah Tur
pun ikut aktif dan andil bagian dalam organisasi kemasyarakatan maupun politik.
Untuk memperlancar manuver dakwahnya dalam jangkauan yang lebih luas beliau
aktif sebagai pengurus di NU Kudus. Beliau bahkan pernah ditunjuk sebagai
musytasyar dalam muktamar NU. Juga pernah sebagai anggota Tim Lajnah Falakiyah
NU. Pernah ditunjuk sebagai panitia Ad Hoc PBNU Pusat dan juga pernah menjabat
Rais Syuriah NU Cabang Kudus. Partisipasi Mbah Tur dalam Muktamar NU merupakan
suatu keistimewaa tersendiri bagi ulama yang terkenal dengan teguhnya memegang
prinsip dan pendapat ini. Pada saat beliau yang baru berumur 15 tahun sudah
ikut andil dalam berbagai Muktamar yang digelar oleh Jam`iyyah NU, yang
keikutsertaanya bukan sebagai partisipan pasif tapi sebagai seorang musyawir
aktif. Dalam usia beliau beliau telah ikut memberikan pendapat dalam pelbagai
forum bahtsul masail yang digelar dalam muktamar. Seringkali pendapat beliau
bergesekan dengan ulama yang yang lebih tua dari beliau.
Selain pengabdian beliau pada NU, beliau juga ikut
menyumbangkan pikiran, tenaga dengan ditunjuknya beliau sebagai hakim agama di
Kudus. Beliau juga pernah ditunjuk sebagai tim rukyah dan hisab oleh Depag.
Juga pernah berkiprah dalam dunia politik sekitar tahun 1955. Karir politik
tertinggi yang pernah beliau capai adalah terpilihnya beliau anggota
konstituante mewakili NU yang kala itu menjadi parpol.
Pemikiran dan Karyanya
Dalam hal karya, sumbangan beliau yang paling besar bagi
ummat adalah penerbitan Almanak Menara Kudus setiap tahunnya sampai beliau
wafat. Almanak Menara Kudus ini adalah trade mark beliau dan mendapat
kepercayaan dari masyarakat luas di penjuru pulau Jawa. Kepercayaan ini tak
lepas dari kepakaran beliau dalam ilmu Falak atau ilmu Astronomi yang telah
terbukti pada ketepatan hisab beliau. Misalnya mengenai hisab prediksi akan
terjadinya gerhana bulan pada hari ini jam ini menit ini detik ini dan akan
terjadi selama sekian lama, ternyata terbukti nyata. Bahkan sebelum wafat, beliau
telah membuat almanak dua ratus tahun ke depan atau dua abad. Sehingga setelah
beliau wafat almanak yang beliau buat terus diterbitkan setiap tahunnya oleh
Penerbit Manara Kudus. Beliau juga telah membimbing muridnya untuk membuat
Hisab Urfi Hijriyah dari tahun 0 sampai tahun 4329 H, yang berarti telah
membuat hisab urfi untuk dua ribu lima ratus tahun ke depan.Jika berbicara
masalah ilmu Falak di Indonesia tidak bisa meninggalkan nama KH. Turaihan.
Namanya bahkan sering ditulis oleh media massa baik lokal maupun nasional
tatkala ada perbedaan penentuan hari raya antara pemerintah dan tim lajnah
Falak NU yang beliau pimpin. Beliau bahkan pernah dipanggil oleh Kodim
berkaitan dengan pendapat beliau yang berbeda dengan pemerintah mengenai
jatuhnya hari raya Idul Fitri.Dalam bentuk karya tertulis yang diterbitkan
karya KH. Turaihan hanyakan sebuah “Jadwal Faraid” dan almanak yang setiap
tahun diterbitkan oleh menara Kudus. Jadwal Faraid karya Mbah Tur ini menurut
banyak kalangaan memiliki kelebihan dalam kepraktisan dan kemudahan
penggunaannya.
Untuk ilmu Falak, KH. Turaihan tidak menuangkan buah
pikirannya dalam bentuk buku. Namun di tangan beliau telah lahir ilmuan ahli
Falak yang sangat mumpuni seperti Kyai Abu Saiful Mujab Nur Ahmad Ibn Shadiq
Ibn Siryani, Ahmad Rofiq Chadziq, Sirril Wafa dan lain sebagainya.Pada tahun
1985, KH. Turaihan mendorong salah seorang muridnya yang ikut mengajar di
Madrasah TBS yaitu Kyai Abu Saiful Mujab Nur Ahmad Ibn Shadiq Ibn Siryani untuk
mengkodifikasikan semua ilmu Falak yang telah beliau ajarkan kepadanya dalam
bentuk sebuah karya yang sesuai dengan perkembangan zaman modern. Akhirnya pada
tahun 1986, lewat tangan muridnya itu terbitlah buku-buku diktat pengajaran
ilmu Falak yang merupakan buah ilmu yang telah diajarkan oleh KH. Turaihan.
Buku diktat itu langsung dilihat dan diperiksa oleh KH. Turaihan setelah
sebelumnya terlebih dahulu di periksa dan ditashhih oleh Ustadz Ahmad Rofiq
yang juga murid KH. Turaihan.
Melihat terbitnya buku-buku itu, KH. Turaihan merasa lega
dan ia merasa tidak perlu lagi menulis karya dalam ilmu Falak, sebab tulisan
muridnya yang merangkum semua yang telah dia ajarkan sudah dirasa cukup.Di
kalangan ulama dan warga Nahdhatul Ulama, KH. Turaihan tidak hanya dikenal
kepakarannya dalam ilmu Falak dan Faraidh saja, namun juga dikenal sebagai ahli
fiqih yang pendapatnya sering membuat kaget banyak orang. Dan dalam akidah atau
keyakinan, beliau adalah sosok yang memiliki keteguhan memegang prinsip dan
keyakinan yang telah ia imani kebenarannya.Dalam majlis Bahtsul Masailyang
digelar pada Muktamar NU Ke-26 pada tanggal 5 – 11 Juni 1979 di Semarang, KH.
Turaihan mengutarakan pendapat yang cukup mengejutkan. Karena pendapat itu
berseberangan dengan mayoritas ulama dan terutama berseberangan dengan pendapat
KH. Bisri Samsuri, Rois `Am PBNU kala itu.Masalah yang dijadikan musyawarah
dalam majlis itu adalah, “Apakah Al Quran boleh ditulis atau dicetak dengan
huruf latin (selain huruf Arab rasm Utsmani) atau dengan tanda baca lain selain
huruf brail? Dan apakah sama hukumnya dengan mushaf?”
Dalam musyawarah itu, KH. Turaihan berpendapat boleh saja Al
Quran ditulis atau dicetak dengan huruf latin (selain huruf Arab rasm Utsmani).
Hanya saja beliau mensyaratkan saat membacanya harus tetap memakai kaidah tajwid
yang benar. KH. Turaihan dalam melontarkan pendapat ini dengan tujuan untuk
memudahkan orang yang tidak bisa membaca huruf Arab agar bisa dan berkesempatan
membaca Al Quran. KH. Turaihan mendasarkan pendapatnya pada pendapat Imam Romli
sebagaimana tertera dalam kitab Hasyiah al Tuhfah juz I hal 154, kitab Al
Bijaerami `ala al Iqna` juz I halaman 304, Hasyiyah al Qalyubi juz I halaman
36, dan Hasyiyah al Jamal `ala al Minhaj juz I hal 76.
Pendapat ini tentu saja membuat kaget para ulama peserta
musyawarah yang hadir. Tak ayal lagi, musyawarah itu memanas dan mayoritas
ulama yang ada menentang pendapat KH. Turaihan itu temasuk KH. Bisri Samsuri.
Mereka berpegangan pada fatwa Imam Ibnu Hajar yang mengharamkan penulisan Al
Quran dengan selain huruf Arab sebagai mana tertera dalam kitab I`anatu al
Thalibin juz I hal 67 dan 68.
Akhirnya majlis sepakat untuk memutuskan maslaah ini sebagai
berikut :
a. Menulis Al Quran dengan tulisan selain huruf Arab
termasuk tulisan latin sudah sepakat antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli
tentang haramnya apabila merubah bunyi dan tulisan Al Quran. Bahwa menulis Al
Quran dengan huruf latin ada manfaatnya terutama bagi orang yang buta huruf
Arab. Tetapi bahayanya lebih banyak, antara lain akan mengurangi perhatian
terhadap belajar membaca dan menulis huruf Arab. Juga, huruf latin tidak
mencukupi bunyi-bunyi huruf Arab. Apabila Al Quran ditulis dengan huruf latin,
maka bunyinya tidak akan sama dengan bunyi Al Quran yang berbahasa Arab itu dan
akan merubah bunyi Al Quran dan tulisannya. Sedangkan merubah Al Quran itu
dilarang (haram).
b. Apabila tidak merubah, maka menurut Imam Ibnu Hajar
hukumnya tetap haram. Sedang menurut Imam Ramli hukumnya boleh. Pendapat Imam
Ibnu Hajar inilah yang lebih mu`tamad (lebih kuat dan bisa dibuat pegangan).Selanjutnya
menurut pendapat Rais `Am PBNU, KH. Bisri Sansuri mengenai ketengan dalam kitab
Hasyiyah al Qalyubijuz I halaman 36 atau sesamanya adalah sebagai
berikut:“Selanjutnya apabila menulis Al Quran dengan tulisan bukan tulisan Arab
dianggap boleh, maka hukumnya sama dengan mushaf di dalam hal menyentuh dan
membawa, dan sebaliknya. Dan berkenaan dengan penulisan Al Quran dengan huruf
brail bagi orang buta, hukumnya boleh karena hajat. Dan mengenai penulisan Al
Quran dengan huruf Arab bukan rasm Utsmani terdapat tiga pendapat. Dan yang
kuat adalah pendapat Imam Malik serta Imam Ahmad, yaitu tidak boleh,
sebagaimana keterangan yang ada dalam kitab I`anatu al Thalibin Juz I halaman
168” (Masykuri, 1996).
Dalam sebuah munazharah di masjid Menara Kudus, KH. Turaihan
juga pernah mengeluarkan pendapat menentang arus dalam masalah wajib tidaknya
membayar pajak. Menurutnya, membayar pajak tidak wajib zhahiran wa
bathinan(baik secara lahir maupun batin), yang wajib adalah membayar zakat.
Dalam masalah membayar pajak ini, di kalangan ulama Kudus memang ada tiga
pendapat yaitu;
Pertama, wajib baik secara lahirnya maupun batin. Kedua,
wajib secara lahir tetapi secara batin tidak wajib. Dan yang ketiga adalah
tidak wajib baik secara lahir maupun batin. Adapun membayar zakat adalah
termasuk hal yang ma`lum min al din bi dharurahakan kewajibannya jika telah
sampai pada syarat-syaratnya (Awali, 2003).
Yang paling menyentak masyarakat kota Kudus adalah tatkala
NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Dengan terang-terangan
KH. Turaihan tidak setuju NU berubah asas. Sebagai organisasi massa umat Islam
maka asasnya harus tetap Islam dan dasar pijakannya harus istiqamah Al Quran
dan Al Sunnah. Beliau menentang keras asas tunggal ini. Bahkan secara terbuka,
demi mempertahankan prinsip dan keyakinan yang beliau anggap benar ini, beliau
bersedia dan tidak merasa menyesal seandainya dikeluarkan dari NU. Keteguhan
memegang prinsip ini sampai sekarang masih terus dikenang dan dijadikan semacam
keteladanan oleh masyarakat santri kota Kudus.
Hari Wafat dan Wasiatnya
Pada malam Sabtu, 9 Jumadil Awal 1420 Hijriyah bertepatan 20
Agustus 1999 Miladiyyah pakar ilmu Falak di Jawa Tengah ini menghadap Allah SWT
dalam usia 84 tahun dan dimakamkan di Kudus. Karya, pemikiran dan perjuangannya
telah dirasakan oleh masyarakat Kudus dan sekitarnya, bahkan oleh masyarakat
Indonesia secara lebih luas. Beliau wafat dengan meninggalkan pesan yang sampai
sekarang masih diingat oleh banyak orang. Pesannya pada keluarga, santri dan
umat Islam secara umum adalah :
1. Segala langkah, prilaku dan perbuatan hendaklah ditimbang
dengan timbangan syariah. Sesuai dengan syariat apa tidak? Melanggar syariat
apa tidak?
2. Di akhir zaman ini janganlah mudah heran, takjub dan
terlena pada hal-hal yang baru. Bisa jadi hal yang baru itu ternyata merusak
agama dan keimanan. Dalam bahasa Jawa beliau mengatakan dengan singkat, “Ojo
gumunan ojo gampang kepencut.”
3. Beliau berpesan dengan syair yang ditulis Imam Fudhail
Ibn Iyad; “Alaika bi thariqil huda, Wala yadhurruka qillatus salikin Wa iyyaka
wa turuwur rada, wala taghtar bikatsratil halikin Wazinu bil qistasil mustaqim.
Dzalika khairun wa ahsanu ta`wila”, “Tetaplah pada jalur yang benar, sedikit
orang yang menjalaninya tidak mengapa. Awas dan hindarilah jalan kerusakan,
jangan terbujuk mesti banyak yang terjerumus ke dalamnya. Timbanglah dengan
timbangan yang lurus itu lebih baik.” (sumber - msunt.blogspot.com)
http:// wiki . aswajanu . com/ Kyai_Turaichan_Adjuri
0 komentar:
Posting Komentar