Ir. Soekarno (6 Juni 1901 - 21 Juni 1970) adalah Presiden Indonesia
pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan
penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia
adalah penggali Pancasila.
Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya
bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali [1]. Ketika kecil
Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia
14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto
mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger
School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto.
Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam,
organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian
bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa). Tamat H.B.S. tahun
1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di
Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno
berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat
itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Putra-putri Soekarno
• Guruh Soekarnoputra
• Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2001-2004
• Guntur Soekarnoputra
• Rachmawati Soekarnoputri
• Sukmawati Soekarnoputri
• Taufan dan Bayu (dari istri Hartini)
• Kartika Sari Dewi Soekarno (dari istri Ratna Sari Dewi Soekarno)
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung.
Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang
didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya
ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya
yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada
tanggal 31 Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung
dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI.
Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke
Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional.
Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya
kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan. Pada tahun
1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat
tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk
"mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A
dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan
sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad
Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga
lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai
organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI
dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H
Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif.
Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah
pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula
yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir
Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan
teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita
bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta
mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah
merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia
termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk
untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh
Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke
Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar
memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia
tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan
Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu
dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia
diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia
Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi
kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang
membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara
lain dalam kasus romusha.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil
yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari
sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah
Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan
Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama
pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang
membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para
pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman
kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan
Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan
alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang
berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan
Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu
bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang
diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada
Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945,
Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945
pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh
KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat
menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana
200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih
bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir
Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia
secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun
akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng
Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno
akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke
Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden
selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single
executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah
menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai
Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala
Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No
X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik.
Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih
demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan,
kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam
menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II
yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan
sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin
Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi
dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin
Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan
sengketa Indonesia-Belanda.
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai
Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai
perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan
kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun
karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke
negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah
menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI.
Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali
kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah
presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah
dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan
rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri.
Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung"
membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan
menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut
turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga
berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952
dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia
Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih
belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif
untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan
Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan
konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang
dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan
kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban,
ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik
juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito
(Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah
(Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan
Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya
itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.
Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan
sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang
masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula,
banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno
bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia
internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu
dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev
(Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro
(Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil
Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari
kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan
separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya,
pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak
dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta,
setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya
dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota
tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan
wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan
Haul Bung Karno.
REFERENSI
- Dr. Syafiq A. Mughnie,M.A.,PhD. Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal. PT. Bina Ilmu, 1994
- Leslie H. Palmier. Sukarno, the Nationalist. Pacific Affairs, vol. 30, No, 2 (Jun. 1957)
- Bob Hering, 2001, Soekarno, architect of a nation, 1901-1970, KIT Publishers Amsterdam, ISBN 90-6832-510-8, KITLV Leiden, ISBN 90-6718-178-1
- Lambert J. Giebels, 1999, Soekarno. Nederlandsch onderdaan. Biografie 1901-1950. Deel I, uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2114-7
- Lambert J. Giebels, 2001, Soekarno. President, 1950-1970, Deel II, uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2294-1 geb., ISBN 90-351-2325-5 pbk.
- Lambert J. Giebels, 2005, De stille genocide: de fatale gebeurtenissen rond de val van de Indonesische president Soekarno, ISBN 90-351-2871-0
0 komentar:
Posting Komentar